PEREKONOMIAN INDONESIA
KRISIS EKONOMI Th. 97 - 98
Disusun
oleh :
NAMA NPM
DEVY KOMALASARI 22214858
DIAN SURA ARIANY 23214004
FEBIOLA NOER S. 24214100
SARASWATI H. 2A214047
LENI FITRIYANTI 26214022
WAHARTINI SAPUTRI 2C214113
SRI INDAH DWI L. 2A214430
FAKULTAS EKONOMI S-1 AKUNTANSI
UNIVERSITAS GUNADARMA
KALIMALANG
ATA 2014-2015
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini selesai pada waktunya.
Adapun judul dari makalah ini yaitu “KRISIS EKONOMI Th. 97 – 98”
Rasa terimakasih pun saya ucapkan kepada:
1. Orang tua serta
keluarga yang selalu mendoakan dan member motivasi tiada habisnya.
2. Dosen mata kuliah
PEREKONOMIAN INDONESIA yang selalu memberikan ilmunya serta membimbing kami sebagai mahasiswa/i.
3. Seluruh mahasiswa/I jurusan Akuntansi khususnya rekan – rekan
kelas 1EB28 yang selalu membantu dan memberikan saran.
4. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan saran untuk
menyelesaikan makalah ini.
Penyusun meyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima guna lebih melengkapi makalah ini. Harapan
penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kita semua.
Penulis mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang baik dan kurang berkenan
dihati pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………i
Daftar
Isi……………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang……………………………………………………………………………...1
I.2 Rumusan
Masalah…………………………………………………………………………..2
I.3 Tujuan
Pembahasan………………………………………………………………………...2
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Sejarah……………………………………………………………………………………..3
II.2 Krisis Ekonomi Asia………………………………………………………………………4
II.3 Konsekuensi Krisis Asia…………………………………………………………………..8
II.4 Krisis Moneter di Indonesia dari Segi Ekonomi…………………………………………..9
II.5 Faktor – Faktor Penyebab Krisis Moneter……………………………………………….21
II.6 Dampak Krisis
Terhadap Perekonomian Indonesia……………………………...........…24
II.7 Krisis Ekonomi Masa Pemerintahan Joko Widodo………………………………………29
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB
I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah
mengalami beberapa fase.Salah satunya adalah zaman pemerintahan orde baru
hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan
ini,dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali
membaiknya hubungan politik dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan
pemerintah untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal
mulai masuk kembali ke Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus
meningkat.Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali
tingkat inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa
orde lama.Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni
Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.
Namun disamping
kelebihan-kelebihan tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde
baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat
pertumbuhan ekonomi meningkat pesat,tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan
fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi
sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia
terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor.Inilah yang akhirnya membuat
Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya
rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.
Sejak berdirirnya
orde baru tahun 1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997
yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar.Krisis pada tahun ini
jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang
pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto
sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor perbankan dan
indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Faktor-faktor yang
diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis
ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
1
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ;
Bagaimana krisis ekonomi
pada tahun 1997 – 1998?
Bagaimana krisis ekonomi
pada saat pemerintahan Joko Widodo?
I.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan dalam pembuatan makalah ini :
·
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
·
Untuk
berbagi pengetahuan kepada pembaca akan sejarah bangsa Indonesia terutama
Mahasiswa/i Universitas Gunadarma.
2
BAB
II PEMBAHASAN
II.1
SEJARAH
Asia
menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang.
Tetapi, Thailand, Indonesia
dan Korea
Selatan memiliki "current account deficit" dan
perawatan kecepatan pertukaran pegged
menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan
dari risiko pertukaran valuta asing dalam
sektor finansial dan perusahaan. Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat
Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah
memulai kompetisi secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an
setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang
Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat
dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari produsen
yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah dibanding
dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan tahun 1997 dan memengaruhi mata uang, pasar bursa, dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju.
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock risk yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke "mental herd" di antara investor yang memperbesar risiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan tahun 1997 dan memengaruhi mata uang, pasar bursa, dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju.
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs, telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock risk yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke "mental herd" di antara investor yang memperbesar risiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.
3
II.2 Krisis Ekonomi Asia
Thailand
Dari
1985 sampai 1995, Ekonomi
Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada tanggal 14-15 Mei 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar.
Pada tanggal 30 Juni,
Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh berkata bahwa dia tidak
akan mendevaluasi
baht, tetapi administrasi Thailand akhirnya mengambangkan mata uang lokal
tersebut pada 2 Juli.
Pada 1996, "dana hedge" Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar AS. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar AS pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 miliar dolar AS (kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar 3,9 miliar dolar AS.
Pada 1996, "dana hedge" Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar AS. Baht jatuh tajam dan hilang setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar AS pada Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 miliar dolar AS (kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket "bailout" sebesar 3,9 miliar dolar AS.
Filipina
Bank sentral Filipina menaikkan suku bunga
sebesar 1,75 persentasi point pada Mei dan 2 point lagi pada 19 Juni.
Thailand memulai krisis pada 2 Juli. Pada 3 Juli,
bank sentral Filipina dipaksa untuk campur tangan besar-besaran untuk menjaga peso Filipina,
menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen dalam satu malam.
Hong
Kong
Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong,
yang dipatok 7,8 ke dolar AS, mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi
Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pejabat keuangan
menghabiskan lebih dari US$1 miliar untuk mempertahankan mata uang lokal.
Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong
masih dapat mengatur mata uangnya
dipatok ke dolar AS. Pasar saham menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng menyelam 23%. Otoritas
Moneter Hong Kong berjanji melindungi mata uang. Pada 15 Agustus
1997, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam satu malam.
4
Korea Selatan
Korea Selatan
adalah ekonomi terbesar ke-11 dunia. Dasar makroekonominya
bagus namun sektor banknya dibebani pinjaman tak-bekerja. Hutang berlebihan
menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan. Contohnya, pada Juli, pembuat
mobil
ketiga terbesar Korea, Kia Motors
meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia, Moody's
menurunkan rating kredit Korea Selatan dari A1 ke
A3 pada 28 November
1997, dan diturunkan lagi ke Baa2 pada 11 Desember.
Yang menyebabkan penurunan lebih lanjut di saham Korea sejak jatuhnya pasar
saham di November. Bursa saham Seoul jatuh 4% pada 7 November
1997. Pada 8 November,
jatuh 7%, penurunan terbesar yang pernah tercatat di negara tersebut. Dan pada 24 November,
saham jatuh lagi 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang
berat. Pada 1998, Hyundai
Motor mengambil alih Kia Motors.
Malaysia
Pada
1997, Malaysia
memiliki defisit akun mata uang besar lebih dari 6 persen
dari GDP.
Pada bulan Juli, ringgit
Malaysia diserang oleh spekulator.
Malaysia mengambangkan mata uangnya pada 17 Agustus
1997 dan ringgit jatuh secara tajam. Empat hari kemudian Standard
and Poor's menurunkan rating hutang Malaysia. Seminggu
kemudian, agensi rating menurunkan rating Maybank,
bank terbesar Malaysia. Di hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur jatuh 856
point, titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober,
ringgit jatuh lagi. Perdana Mentri Mahathir
bin Mohamad memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata
uang jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir
bin Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah akan
menggunakan 10 miliar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa.
Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini dengan menolak bantuan IMF.
Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9 persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini dengan menolak bantuan IMF.
5
Indonesia
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh
dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah,
perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang
besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.
Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.
6
Singapura
Ekonomi Singapura
berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan negara lain
di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan erat dan
ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap ekonominya.
Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis diperhatikan
secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai
pelajaran bagi negara tetangganya.
Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.
Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.
Tiongkok daratan
Republik
Rakyat Tiongkok tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi
yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya
dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus
memiliki masalah "solvency" parah dalam sistem perbankannya,
kebanyakan deposit di bank-bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian
bank.
Amerika Serikat dan Jepang
"Flu
Asia" juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat
dan Jepang. Ekonomi
mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat.
Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.
Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT.
Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.
Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT.
7
Sekitar
40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5
persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia
juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.
Laos
Laos terpengaruh ringan
oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000 terhadap satu dolar AS.
II.3 Konsekuensi Krisis Asia
Krisis
Asia berpengaruh ke mata uang, pasar saham,
dan harga aset
lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah
beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini.
Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Suharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam.
Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRT.
Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.
Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia memengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah menimbulkan ledakan di pelajaran tentang ekonomi finansial dan "litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakan IMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz.
Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Suharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam.
Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRT.
Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.
Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia memengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah menimbulkan ledakan di pelajaran tentang ekonomi finansial dan "litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakan IMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz.
Sejak
pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan
anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau
pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan
mereka seperti “manusia setengah dewa”).
8
Namun
tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-masing dalam menjalankan
arah kebijakan anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan
kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan dan
ketertiban. Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini
sepertinya berorientasi pada ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya kebijakan
yang ada biasanya hanya untuk segelintir orang dan bahkan lebih banyak
menyengsarakan rakyat. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran,
yang hanya menambah beban APBN. Bila diteliti lebih mendalam
kebijakan-kebijakan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat jangka
pendek. Dalam arti kebijakan yang ditempuh bukan untuk perencanaan ke masa yang
akan datang.
II.4 Krisis
Moneter di Indonesia dari Segi Ekonomi
Orde
lama (Demokrasi Terpimpin)
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
9
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa
penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh
menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan
Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras
ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus
blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan
tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi
masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang
Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab
Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Sejak
kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase.Salah
satunya adalah zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan ini,dapat dikatakan bahwa
ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik
dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan
rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke
Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat.Sasaran dari
kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat
inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa
orde lama.
10
Indonesia
juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat
prekonomiannya sangat tinggi.
Namun
disamping kelebihan-kelebihan tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan
orde baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat
pertumbuhan ekonomi meningkat pesat,tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan
fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi
sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia
terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor.Inilah yang akhirnya membuat
Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya
rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada
tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.Sejak
berdirirnya orde baru tahun 1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan
tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar.Krisis pada
tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis
sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan
mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor
perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun
politik. Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang
berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka
waktu yang panjang.
2. Masa Demokrasi Liberal
(1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
11
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu
upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar
bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang
tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta
memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal,
karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
12
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus
1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi
Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank
yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
- Orde
Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Awal terjadinya
berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi mata uang Baht
oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan
di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke
Filipina, Malaysia dan Indonesia.
Pada mulanya kurs
dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian
naik terus (pada bulan Agustus – November 1997) sampai menunjukan angka
US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank
Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi.
13
Namun kenyataan
dilapangan, bank-bank menaikanleading rate (tingkat suku bunga
kredit) karena cost of loanable pundsmengalami kenaikkan pada semua
bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga meningkat
tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran likuiditasnya. Kondisi ini bahkan
meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun
1998
Krisis nilai tukar /
krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan dan krisis
ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan
masyarakat rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi
karena kebijakan perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper satu decade
setelah krisis perbankan masih tetap menjadi bagian dari krisis ekonomi.
Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah.
Sepertiga bahkan sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit
untuk usaha dan bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan
disektor riil. Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah
krisis perbankan dijerat dengan berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga
mengorbankan sector riil. Kondisi sector industry akhirnya juga mengalami
kemacetan. Akibat selanjutnya tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan
krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial,
krisis kepercayaan dan krisis polotik.
Seperti yang
dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya, 2003) krisis yang
melanda Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:
1. Krisis Moneter,
Indikatornya :
a. Depresiasi
kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
b. Neraca
pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c. L/C
bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional
d. Uang
beredar terus meningkat.
2. Krisis
Perbankan, Indikatornya :
a. Likuidasi
bank ditutup
b. Pembentukan
BPPN untuk menyehatkan bank-bank
c. Bank
beku operasi dan bank take over
d. Utang
luar negeri yang membengkak
e. Tingkat
suku bunga SBI naik terus, mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1 bulan
f. Tingkat
suku bunga deposito bank umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1 bulan
g. Utang
bank dalam bentuk BLBI melampaui 200%-500%.
14
3. Krisis Ekonomi,
Indikatornya :
a. Tingkat
suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
b. Stagnasi
di sector riil
c. Tingkat
inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
d. PHK
di berbagai sector riil.
Krisis
pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang
sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju
pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan
penurunan pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang
sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%
dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966.Selain
itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya
defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan diperoleh dari
negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan
devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik
dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian
modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu
(Siregar,1987).Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal
ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan
akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain
itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.Bulan September
1984,Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi
perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana
mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat
suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah
tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada
tahun 1997.
15
(Tambunan,1998)
Terakhir,antara
tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu
ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi
nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju
pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari
pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun
1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar
AS yng bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah
(Tambunan,1998).Sumber: Tambunan (1998) pertukaran bath-dollar
Dari
tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana
hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli
1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei
1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat
para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi
terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand.
Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand
melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada
tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath
dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF.
16
Pengumuman
ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai
terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi
di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi
Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam
kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang
dalam bentuk dolar AS.
Krisis
moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara
Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika
krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai
dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan
Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah
terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi
mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar
negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan
perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang
tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar),
kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang
telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin
jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi
tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang
dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang
yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Krisis Rupiah Hingga Krisis
Ekonomi
Indonesia
merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian
disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar.
Seperti diungkapkan oleh Haris (1998),
“Krisis ekonomi yang
dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde
baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa,
serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih
jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh
kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak
lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan
sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula” (hal.54)
17
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia
Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan
Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya
di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus
meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam
negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di
dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan
ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan
pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di
negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar
valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh
otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas
pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.
Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah
terjadi karena krisis bath Thailand. Sementara menurut McLeod (1998),
krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan
pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk
diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada
tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun
itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak
perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan
sembako semakin langka.
Krisis
ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud
fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi
anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
18
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
|
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat Inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3,24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2,96
|
-6,76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17.972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10,78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
|
8,661
|
9,868
|
11.611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
|
|
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2,11
|
2,2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp.milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1,852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank
Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2,
1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah
19
m
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot
sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi
dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai
rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai
nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per
dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah
turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami
penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai
Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan
Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode
Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada
bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per
dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan
kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan
Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998,
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi
dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga
mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.
20
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang
Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98.
Negara
|
US$/100 Uang lokal 6/30’97
|
12/31’97
|
Perubahan (%)
6/30-12/31
|
5/8’98
|
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
|
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
|
Thailand
|
4,05
|
2,08
|
-48,7
|
2,59
|
24,7
|
-36
|
Malaysia
|
39,53
|
25,70
|
-35,0
|
26,25
|
2,1
|
-33,6
|
Indonesia
|
0,04
|
0,02
|
-44,0
|
0,01
|
-53,0
|
-73,8
|
Filipina
|
3,79
|
2,51
|
-33,9
|
2,54
|
1,3
|
-33,0
|
Hongkong
|
12,90
|
12,90
|
0,0
|
12,90
|
0,0
|
0,0
|
Korea Selatan
|
0,11
|
0,06
|
-47,7
|
0,07
|
21,9
|
-36,2
|
Taiwan
|
3,60
|
3,06
|
-14,8
|
3,10
|
1,2
|
-13,8
|
Singapura
|
69,93
|
59,44
|
-15,0
|
61,80
|
4,0
|
-11,6
|
Serosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali
intervensi d Sumber
:Goldstein (1998)
Sebagai
konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar
rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi
lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan
pasar.
II.5
Faktor
– Faktor Penyebab Krisis Moneter
Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesuatu yang
terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu pula dengan adanya krisis yang
terjadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Analisis
dari faktor-faktor ini diperlukan, karena untuk menangani krisis tersebut
tergantung dari ketepatan diagnosa. Ada beberapa pendapat mengenai
faktor-faktor tersebut, antara lain :
21
1.Ada
sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky dan
Reinhart (1996), dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama
suatu krisis ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari
Negara yang bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan
terus menerus dan utang luar negeri jangka pendek yang sudah melewati batas
normal.
2.Anwar
Nasution (1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar
negeri ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya
krisis finansial.
3.Ada
kelompok peneliti lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez-Peria
(1998), dan Obstfeld (1986),yang berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi
karena hancurnya sistem penentuan kurs tetap di Negara-negara yang fundamental
ekonomi atau pasarnya baik.
4.Bank
Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju
kea rah kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab itu antara
lain, akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun
1992-1997,kelemahan pada sistim perbankan, masalah governance,termasuk
kemampuan pemerintah dalam menangani dan mengatasi krisis, dan yang terakhir
adalah ketidakpastian politik dalam menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan
mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
5.Lepi
T.Tarmidi berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat tajam. Selain itu, ada
beberapa faktor lainnya menurut kejadiannya, antara lain :
a. Dianutnya sistim devisa yang
terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, yang memungkinkan arus
modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas.
b. Tingkat depresiasi rupiah yang
relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun
1998 hingga 1996, yang berada dibawah fakta nilai tukar, menyebabkan nilai
rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
c. Akar dari segala permasalahan
adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar
rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk
membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistim perbankan
nasional yang lemah.
22
d. Permainan yang dilakukan oleh
spekulan asing yang dikenal hedge funds
tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki
Indonesia pada saat itu, karena prakek margin
trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah
besar.
e. Kebijakan fiskal dan moneter tidak
konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi.
f. Defisit neraca berjalan yang
semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan
karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan
melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
g. Penanaman modal asing portfolio yang pada awalnya membeli
saham besar-besaran yang diiming-imingi keuntungan yang besar yang ditunjang
oleh perkembangan moneter yang relatif stabil, kemudian mulai menarik dananya
keluar dalam jumlah besar.
h. IMF tidak membantu sepenuh hati dan
terus menunda pengucuran bantuan yang dijanjikannya dengan alas an pemerintah
tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Dan Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu, juga menunda
bantuannya menunggu signal dari IMF.
i. Spekulan domestik juga meminjam
dana dari sistim perbankan untuk bermain.
j. Terjadi krisis kepercayaan dan
kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS, agar
nilai kekayaan tidak merosot dan malah bias menarik keuntungan dan merosotnya
nilai tukar rupiah.
k. Terdapatnya keterkaitan erat dengan
Yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS.
23
II.6 Dampak Krisis Terhadap Perekonomian Indonesia
Sejak
bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa
dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu
masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang
ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1
Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi
40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi
manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif
lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan
milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang
akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena
banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya,
kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi
yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional,
khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997.
Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup
semakin tinggi.
Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif.
Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar
negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis
asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian,
proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca
berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil
Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit
usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan
mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk
kelompok menengah ke bawah.Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari
jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.
24
- Masa
Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati. Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
25
b)Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan
yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah
satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November
2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin
ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
26
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector
riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu
sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain
pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Masalah
pemanfaatan kekayaan alam.
Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga amat minim.
Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga amat minim.
Pada
masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa yang bisa
digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu
makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba.
Beras murah, padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang
mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor
komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup
dan tidak tranparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif.
27
Hutan
dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke
orang-orang tertentu (kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde
Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang memprotes pemerintah Orba yang
bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi RI ambruk parah ditandai
Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada masa Orde Baru.
Masa
Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar.
Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa
Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati
kebebasan (namun sepertinya terlalu “bebas”). Media masa menjadi terbuka.
Yang
memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang
dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman
Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang
sudah terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari
illegal logging.
Sistem
pemerintahan
Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme.
Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme.
28
Soeharto
dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru dan
Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto selama
lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih
menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan
tabiat politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan koruptor masih bercokol di
negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural dan
substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya,
bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru.
Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis
demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin
melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem politik
otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba terdapat
instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak pers,
pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer
untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.
II.7 Krisis Ekonomi Masa Pemerintahan Joko Widodo
Demonstrasi dan protes meruak ke arah Jokowi, sebagian
besar pendemo malah mendesaknya pulang ke Solo karena gagal dan memalukan
warga Solo. Indonesia dibayangi krisis ekonomi warisan eras SBY
,dan suasananya mirip menjelang krisis moneter 1997, utang swasta saat ini
kebanyakan berjangka pendek dan tanpa lindung-nilai. Banyak pula dari utang
tersebut dipakai membiayai proyek jangka panjang.Para oligarki kelilingi
Jokowi.
Sampai
menjelang krismon 1997, kinerja lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat
kinclong. Asetnya melejit sangat cepat, demikian pula keuntungannya. Para
konglomerat pemilik bank pun tampak sangat percaya diri dalam melakukan
ekspansi bisnis di segala sektor.
29
Ketika itu
Indonesia seolah tinggal selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua itu mulai
berantakan pada Agustus 1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap dollar
AS. Kredit macet dan harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun
mengamuk.
Demikian
hebatnya amuk rakyat ketika itu, tentara yang biasanya sangat ampuh menghadapi
kerusuhan tak berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api dan kematian makin merebak
di berbagai kota, Suharto menyatakan mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei
1998.
Mirip
menjelang Krismon 1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar negeri
swasta lebih besar ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding US$
136 miliar. Sama seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI
sekarang, bersifat jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.
Celakanya,
tak sedikit dari utang Valas tersebut dipakai untuk membiayai proyek-proyek
berjangka menengah atau panjang. Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil dari
proyek-proyek tersebut berbentuk rupiah. Salah satu paling berisiko adalah
proyek-properti yang belakangan ini menjamur dimana-mana. Hal ini tampak
kasatmata dari pembangunan perumahan, mal, superblock, dan sebagainya.Maka,
seperti 1997, bila nanti rupiah jeblok berkelanjutan, kredit macet bakal
melesat dan banyak proyek berhenti di tengah jalan. PHK massal pun tak
terelakkan!
Bisa
dipastikan, lembaga-lembaga akan mengalami kerugian besar bahkan bisa bangkrut
lantaran tak sanggup menanggung kredit macet. Dan pemerintah pun dihadapkan
pada dua pilihan: mengambil langkah penyelamatan dengan menalangi kredit macet
para kreditor, atau membiarkan kebangkrutan terjadi. Sejak kasus Bank Century,
kedua pilihan mengandung resiko berat.
Seperti
kasus Bank Century, menyelamatkan bisa membuat para pengambil keputusan menjadi
bulan-bulanan para politisi, bahkan bisa masuk penjara. Bila memilih keputusan
kedua, pada titik ekstrim, dunia keuangan bisa mengalami kebangkrutan massal
atau jatuh sepenuhnya ke tangan asing.
30
Berdasarkan
kasus Bank Century itulah, Ketua umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional
(Perbanas) Sigit Pramono, telah berulang kali mengingatkan bahwa UU Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) harus segera dibuat. Tanpa JPSK, menurut Sigit,
ketika terjadi krisis keuangan tak ada pejabat yang berani mengambil keputusan
karena takut diadili secara politis dan pidana.
Sigit
berharap agar UU JPSK mengatur tentang definisi krisis, siapa yang berhak
menentukan telah terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Tapi Sigit tentu juga harus realistis bahwa sekarang
ini segala sesuatu bisa dijungkirbalikkan, termasuk pasal-pasal hukum yang
tersurat.
Kini secara
umum lembaga keuangan, baik bank maupun yang non-bank, masih dalam kondisi
sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah bermunculan. Salah satunyanya
adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas pada 2014. Laba perbankan
swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun lalu turun 7,06% dari Rp
28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.
Hanya dua
bank swasta yang tahun lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA dengan perolehan
Rp 16,49 triliun atau naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank Panin dengan
pertumbuhan laba 4,42% dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun. Bank
swasta lainnya, yaitu CIMB Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34 triliun
di akhir 2014; Bank Danamon rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles 65%
menjadi Rp 752 miliar; dan Bank Permata turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.
Dalam Top 10
bank terbesar di Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih mencetak
pertumbuhan laba. Total laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN tahun
lalu naik 12,07% menjadi Rp 56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35%
menjadi Rp 24,2 triliun, Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik
19,1% menjadi Rp 10,78 triliun. Satu-satunya bank milik pemerintah yang
membukukan penurunan laba adalah BTN , yaitu dari 1,56 triliun menjadi 1,12
triliun atau turun 28,59%.
31
Sementara
itu merosotnya harga komoditas seperti minyak sawit, batubara dan minyak telah
mendorong OJK untuk mengingatkan para bankir agar waspada terhadap bahaya
kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga komoditas-komoditas tersebut
berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini karena minyak kelapa sawit
dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia, dan minyak masih merupakan
sumber penghasilan penting bagi pemerintah.
OJK tak
menginginkan apa yang terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet ke yang
lain. Kemacetan KUR tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi kredit
macet adalah 5%. Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR sebanyak 30%
menjadi Rp 20 trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi, pemerintah
juga tak lagi menggunakan BPD sebagai penyalur KUR. Sekarang hanya BRI, BNI,
dan Mandiri yang diberi kepercayaan menyalurkan KUR .
Selain
kerugian yang dialami Bank terjadi juga penurunan nilai mata uang rupiah, nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp 13.000/US$. Ini
merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era krisis
ekonomi 1998 (krisis moneter/krismon).
Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri
menyatakan, pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena
mulai menguatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis
hebat pada 2008 lalu.Kondisi ini membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara
berkembang ‘pulang kampung’. Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang
di duna yang juga melemah terhadap dolar.Namun analis asing punya pendapat lain
soal pelemahan rupiah yang terjadi. Berikut rangkumannya seperti dikutip,
1.Akibat Pernyataan
Gubernur Bank Indonesia (BI)
Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ
mengatakan, pelemahan rupiah tidak lepas dari pernyataan Gubernur Bank
Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa waktu lalu.
32
Agus sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia
terkendali. Bahkan bukan tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di
kisaran 4%.Pasar mengartikan ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai
mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya adalah peluang penurunan suku
bunga acuan atau BI Rate.Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di
Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar
(capital outflow) yang membuat rupiah melemah.“Sepertinya bank sentral
mengizinkan rupiah melemah. Ini memicu lebih banyak arus modal keluar,” tutur
Goh seperti dikutip dari CNBC.Pada 17 Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate
dari 7,75% menjadi 7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.
2. Pudarnya Jokowi Effect
Ada faktor lain yang menyebabkan rupiah cenderung melemah. Pelaku pasar
saat ini sudah mulai rasional, dan sepertinya euforia terpilihnya Joko Widodo
(Jokowi) sebagai presiden, atau sering disebut Jokowi Effect, sudah memudar.
“Euforia atas kemenangan Presiden Joko
Widodo tidak bertahan lama,” ujar Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ.
Pasca pemilihan presiden (pilpres) 9
Juli 2014, pasar keuangan Indonesia menikmati ‘guyuran’ arus modal masuk
(capital inflow). Rupiah pun menguat hingga nyaris 5% selama periode 25 Juni
hingga 23 Juli. Setelah itu, rupiah cenderung melemah karena euforia Jokowi
Effect sudah terkikis.
Apalagi fundamental ekonomi Indonesia
masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di
kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak
berkelanjutan,” kata Goh.
33
3. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250
Fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit
transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Jadi arus modal masuk itu tidak
berkelanjutan,” kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ.
Tidak hanya dari dalam negeri, rupiah
juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu ‘perkasa’ terhadap mata
uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index (perbandingan dolar AS dengan
mata uang utama dunia) yang mencapai titik tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Oleh karena itu, Goh memperkirakan
rupiah masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada
di posisi Rp 13.250/US$.
34
BAB III KESIMPULAN
Indonesia mengalami krisis moneter bukan baru
sekali ini saja. Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia sudah sering
mengalaminya. Krisis yang paling parah terjadi pada pertengahan tahun 1997.
Pada saat itu, Indonesia berada dibawah pemerintahan Presiden Soeharto (Orde
Baru), dimana kebijakan-kebijakan ekonominya telah menghasilkan kemajuan
ekonomi yang pesat. Namun disamping itu, kondisi sektor perbankan memburuk dan
semakin besarnya ketergantungan terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan
impor, yang membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang
diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan
tahun 1997.Keadaan ini kemudian diperburuk dengan adanya krisis nilai tukar
bath Thailand yang menyebabkan nilai tukar dollar menguat. Penguatan nilai
tukar dollar ini berimbas ke rupiah dan menyebabkan nilai tukar rupiah semakin
anjlok.
Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Namun ada dua
aspek penting yang menunjukkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjelang
krisis, yakni saldo transaksi berjalan dalam keadaan defisit yang melemahkan
posisi neraca pembayaran dan adanya utang luar negeri jangka pendek yang tidak
bisa dibayar pada waktu jatuh tempo.
Terjadinya krisis ini menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap
perekonomian Indonesia, di dalam segala aspek kehidupan. Namun secara
keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah ini lebih besar
daripada dampak positif yang ditimbulkan.
Dalam menangani krisis ini, pemerintah tidak dapat menanganinya sendiri. Karena
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung
sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis. Oleh karena
itu, pemerintah meminta bantuan kepada IMF. IMF adalah bank sentral dunia yang
fungsi utamanya adalah membantu memelihara stabilitas kurs devisa Negara-negara
anggotanya dan tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir bagi bank-bank umum yang
mengalami kesulitan likuiditas.
35
DAFTAR PUSTAKA
36
Nama : Sri Indah Dwi lestari
Kelas : 1EB28
NPM : 2A214430
Tidak ada komentar:
Posting Komentar